Cintaku di TanganMu Bahagiaku di AlamMu
Arjuna Reynaldi Wicaksana itulah nama lengkapku, tapi orang-orang biasanya panggil Rey aja. Aku pewaris tunggal sebuah perusahaan yang bisa dibilang terkenal. Orangtuaku adalah orang yang sangat sukses, terkenal, dan selalu sibuk, sampai-sampai tidak pernah ada waktu untukku. Mereka memberikanku kehidupan yang mewah, segala sesuatu yang aku mau pasti mereka berikan padaku. Kecuali satu hal yang amat penting yang tak pernah mereka sadari, yaitu cinta, kasih sayang dan kehadiran mereka disisiku. Setiap hari, orang-orang yang ku lihat hanyalah sopir pribadiku yang aku biasa panggil Pak San dan seorang pembantu yang selalu setia menjagaku bernama Mbak Nisa. Mereka sudah bekerja di rumahku sejak aku belum lahir, jadi otomatis mereka telah mengetahui seluk beluk keluargaku dari A sampai Z. Mbok Isa dan Pak San sudah ku anggap seperti orangtuaku sendiri, aku sangat menyayangi mereka melebihi sayangku kepada orangtuaku sendiri. Maklum aku bertemu orangtuaku hanya 3 bulan sekali, sedangkan bertemu mereka setiap hari. Orangtuaku tinggal di luar negeri, sementara aku tinggal sendiri disini, di Bali. Hari demi hari ku jalani dengan kesepian. Aku seperti anak anjing yang kehilangan induknya di tengah malam yang dingin dan basah kuyup karena kehujanan. Walau begitu aku terus bertahan, aku bertahan dalam kesendirian. Aku sudah tak sabar lagi. Ingin rasanya aku melampiaskan semua ini. Tapi, ku tak tahu harus kulampiaskan kepada siapa, ku tak tahu harus berbuat apa. Aku baru sadar kalau selama ini aku tak memiliki teman. Aku hanya memiliki Mbak Isa dan Pak San.
Pada malam, sehari sebelum acara perpisahan SMA, sepulang nongkrong sendirian. Aku bertemu Pak San dan dia berkata “Mas Rey, mama sama papa mo pulang…katanya sih mau dateng ke acara perpisahan di sekolahnya mas..” dengan cuek aku bilang “aahh… biar aja mereka pulang, paling juga pulang bukan untuk aku, tapi mereka pengin reunian sama temen-temen mereka. Kan banyak tuh orang tua murid yang bakalan dateng.” sambil tersenyum Pak San pergi menuju halaman belakang. Setelah megambil beberapa langkah aku membalikkan badan dan memanggil Pak San kemudian bertanya “Mbak Isa dimana pak?“ “di dapur mas.” jawabnya singkat, aku melangkahkan kakiku ke dapur “Mbak Isa..Mbak Isa..” sambil memanggilnya. Mbak Isa dengan kaget menjawab “aduhh.. ada apa mas, bikik mbak kaget aja. Nanti kalau mbak jantungan gimana?” “hehe sori sori, eeh, katanya mama sama papa mau pulang ya? kapan mbak?“ sambil masak Mbak Isa bilang “Iya mas, tadi waktu dikabarin udah sampai di bandara. Mungkin nanti malam sampai.”
Pagi-pagi aku bangun aku udah di sambut sama suara yang ngga asing lagi. Suara yang tiga bulan sekali baru aku dengar. Yaa,, suara orangtuaku. Aku langsung buka pintu, ngeliat dari tangga dan seperti biasa papa dengan korannya dan mama dengan majalahnya yang sudah siap menuju acara perpisahan sekolahku. Ketika mereka menyadari aku ada disana, mereka langsung menyapa “Good morning boy.” kata papa “helo baby. How are you?” kata mama dengan logat sok bulenya. Aku hanya tersenyum pada mereka, karena saking gembiranya sampai tak sepatahkatapun keluar dari mulutku. Ketika aku mulai bertanya “mam, kapan dateng? Pah gimana kerjaannya?” mama langsung menyeka “Sayang kamu mandi aja dulu, sebentar kita lanjutin lagi ngobrolnya” sambil melihat kearah papa dan “Iya Rey kamu mandi aja dulu ntar waktu kita diperjalanan kesekolahmu kita lanjutin ngobrolnya.” Dengan enggan aku menuju ke kamar mandi. Ketika di perjalanan papa sibuk dengan HPnya, mama sibuk dengan BBnya, dan aku lagi-lagi sibuk dengan kesendirianku. Sesampainya di sekolah papa dan mama bergegas turun dari mobil. Mereka berpencar, mencari teman masing-masing, yang sedari dulu menjadi teman bisnis dan yang dulu teman arisan mama. Aku..aku sendiri tanpa teman dan melangkahkan kakiku ke tempat favoritku yaitu adalah kantin. Kantin sekolahku terletak di depan taman yang ada di seberang sekolahku. Ketika aku duduk sendiri di kantin, aku melihat ada seoarang perempuan yang aku rasa dia sebaya denganku sedang duduk sendiri di sebuah bangku yang ada di taman tersebut. Aku penasaran dan segera menghampirinya.
Sesampainya disana, aku duduk di sampingnya lalu aku berkata, “haii” ia menoleh dan berkata padaku, “haii juga. Siapa kamu? Ngapain disini?” lalu aku menjawab, “Aku Rey, kamu?” sambil mengulurkan tanganku dan dia membalasnya, “Aku Lea, kamu belum jawab pertanyaan ku. Ngapain kamu disini..?” dengan tenang aku berkata, “Aku disini soalnya aku penasaran sama kamu. Aku liat kamu dari kantin sekolahku duduk sendiri disini. Yaa daripada aku penasaran, langsung aja aku kesini. Kamu nggak apa-apa kan?” dengan menatap mata dan tersenyum padaku, ia berkata, “iya. nggak apa-apa, kamu sekolah disana? Kelas berapa?” aku menatapnya, “iya, aku udah tamat. Sekarang acara perpisahnnya. Kamu sekolah dimana?” Lea memandang kearah depan dan berkata dengan nada yang agak berat dan terbata-bata “Aku..aku.. nggak sekolah.” aku terkejut lalu bertanya padanya, “Kenapa nggak sekolah? udah tamat?” “Gak, orang tuaku nggak ada biaya untuk menyekolahkanku. Kenapa kamu gak disana?” tanya Lea. Sambil menggelengkan kepala, “Aku gak punya temen”. “masa sih? Aku juga.” sambungnya. “Gimana kalo kita mulai sekarang temenan?” jawabku sambil tersenyum kearahnya dan ia juga tersenyum pertanda mengiyakan tawaranku. Di dalam hati aku merasa sangat iba terhadap nasibnya namun, disisi lain aku merasa bahagia karena aku akhirnya memiliki seorang teman. Dan aku merasa sepertinya ada orang yang sedang mengawasi kami. Lalu aku menunjukkan gerak-gerik aneh sampai Lea bertanya “kamu kenapa Rey? kok kayaknya gelisah gitu?” dengan bingung aku menjawab “nngg, nggak apa-apa. hmm, kamu ngerasa nggak, kaya ada yang ngawasin gitu?” Dengan tenang Lea menjawab “nggak ada apa-apa kok. Aku pergi dulu yaa.” dengan tergesa-gesa ia meninggalkanku. Jauh didalam hatiku berkata orang yang aneh yang telah mempesonakan hatiku.
Keesokan harinya ketika aku baru bangun, melihat mama terburu-buru, “Mama mau kemana?” tanpa menoleh ia berkata, “I’m sori baby, I should go back to London now. Teman mama mengundang mama di acara pembukaan hotel barunya.” Dalam hati ku berkata, “Helo, lebih penting temenya daripada anaknya!” tak ada kata-kata yang bisa ku keluarkan dari mulutku, kecuali, “Oke, becarefull ma...”
Tak lama berselang papa melakukan hal yang sama. Bahkan lebih parah dari yang mama lakukan. Dengan berteriak ia berpamitan padaku tanpa menghampiriku sama sekali. “Rey..Rey papa pergi sekarang. Papa pergi ke New York urusan bisnis” aku tak menjawab. Aku malah berpikir kenapa mereka mempunyai anak jika hanya untuk disia-siakan.
Tak lama berselang papa melakukan hal yang sama. Bahkan lebih parah dari yang mama lakukan. Dengan berteriak ia berpamitan padaku tanpa menghampiriku sama sekali. “Rey..Rey papa pergi sekarang. Papa pergi ke New York urusan bisnis” aku tak menjawab. Aku malah berpikir kenapa mereka mempunyai anak jika hanya untuk disia-siakan.
Tiba-tiba aku teringat dengan Lea. Aku segera bergegas menuju taman depan sekolah, untuk menemuinya. Sesampainya disana, kudapati dirinya sedang duduk di kursi dan menulis sesuatu dalam selembar kertas. Sambil ku memperhatikannya, aku melihat segundukan kecil tanah seperti baru habis digali. Namun, tak ku perhatikan hal itu, langsung saja kupanggil namanya dari belakang “Lea.” ia menoleh dan tersenyum sambil berkata “Hei, Rey. Aku kira siapa.” Sambil melangkah aku tersenyum padanya. Raut muka Lea sedikit berubah, tapi tetap tersenyum. Aku membuka percakapan “Kemarin kenapa ninggalin aku sendiri?” kulihat air wajahnya berubah total menjadi panik. Lalu kutanyakan padanya “kamu kenapa, kok panik gitu? ada yang di sembunyiin ya dari aku? hayoo,, ngaku“ dia mengerutkan kening dan tersenyum “nggak ada apa-apa kok.. yee… mau tau aja siih…” lalu aku tertawa, ia juga ikut tertawa kita berdua larut dalam canda dan tawa. Walaupun aku masih merasa ada sesuatu yang ganjal. Aku merasa seperti ada yang memperhatikan kami dari kejauhan, tapi aku tak membahasnya karena aku takut dia tak nyaman. Hari demi hari berlalu, tak kusangka sudah berbulan-bulan aku selalu menemuinya di taman itu. Lea membuatku merasa nyaman, aku sangat bahagia disisinya. Aku menyayanginya, aku mencintainya dan telah kuungkapkan itu padanya. Dia mau menjadi milikku, dia mau menjadi pasanganku, kekasihku. Ternyata selama ini apa yang dia rasakan padaku sama seperti apa yang ku rasakan padanya. Kami terus bertemu di taman itu.
Pada suatu siang, pada saat kami sedang bersama HPku berdering, kulihat ternyata telepon dari Pak San, segera aku mengangkatnya, langsung saja Pak San menyampaikan bahwa Mbak Isa pingsan dan sudah ada di UGD. Segera aku menyusulnya menuju UGD setelah berpamitan dengan Lea. Namun, aku tahu aku terlambat karena kulihat Pak San sudah berdiri lemas dihapan seorang dokter. Aku mengerti artinya Mbak Isa yang kuanggap seperti ibuku sendiri telah diambil oleh Tuhan. Aku hanya bisa menangis dan Pak San berusaha menenangkanku.
Hari demi hari berlalu, kuhabiskan sepanjang hariku dirumah bersama Pak San, tak terasa sudah berminggu-minggu berlalu. Ketika pagi hari, saat aku hendak berenang aku mendengar Pak San menerima telepon dengan raut wajah yang shock dan kemudian aku menghampirinya untuk melihat dan kemudian kudapati ia meremas dada kirinya dan terhuyung lemas kemudian terjatuh tepat di depan mataku. Dengan perasaan panik, tak karuan dan penuh dengan ketakutan, aku segera membawanya ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit ia segera dibawa ke UGD, kehiruk pikukan UGD membuat perasaanku tambah semakin tenggelam kedalam ketakutan. Dokter segera menanganinya dengan sigap, tetapi raut wajahnya berubah, seakan-akan tak tega mengatakan berita buruk yang telah terjadi. Benar saja dokter meminta maaf kepadaku, langsung saja aku memotong perkataannya, “apa yang terjadi? Apa yang terjadi dok? Dia bisa disembuhkan kan?” dengan penuh penyesalan dokter berkata ”maaf dik, kami sudah melakukan semampu kami”. Bagaikan tersambar petir aku langsung terjatuh lemas dilantai rumah sakit. Aku bertanya mengapa semua yang aku sayangi diambil satu persatu. Ini semua begitu cepat bagiku. Lalu pada saat itu juga kutelepon orangtuaku yang ada di luar negri, sambil menangis aku berkata, “Halloo…mama..?” lantas orang diseberang sana menjawab, “Yaa sayang, kenapa? Kamu kurang uang? nggak usah sampai nangis gitu kali. Kamu tinggal bilang berapa mama langsung transfer drisini sayang..” air mataku mengalir makin deras, aku tak menyangka sesempit itukah pikiran orangtuaku. Mereka menganggap hanya uang yang kubutuhkan, lalu dengan tercekat aku berkata padanya, “Ma.. Pak San meninggal, dan dua bulan yang lalu juga Mbok Isa sudah pergi. Maafkan aku tidak memberitahu mama.. aku tak ingin mama memikirkan ini, sehingga mengganggu pekerjaan mama..”dengan enteng mama menjawab, “Reynaldi sayang…semua orang yang hidup di dunia ini akan kembali padaNya. Jadi kamu nggak perlu sesedih itu sayang..” betapa kecewanya aku mendengar ucapan mama seperti itu. Dia tidak pernah tau betapa berharganya Mbok Isa dan Pak Man dimataku ketimbang dirinya. Tanpa berkata apapun, kumatikan ponselku..
Ketika suatu hari, kembali aku mengingat Lea dan bergegas pergi ketaman berharap ia kan ada disana. Namun, tetap tak kutemui sosok wanita yang kucintai tersebut. Ketika aku hendak pergi meninggalkan tempat itu, kudengar seseorang memanggilku. “Maaf apakah anda Rey?” dengan gugup aku menjawab “Ii..iya.. anda siapa?” pria itu menjawab, “Saya adalah bodyguard Lea, saya yang selalu mengawasi Lea dari jauh. Saya selalu memperhatikan apa saja yang kalian lakukan disini.” aku tercengang, “Apa? Bukannya Lea…” pertanyaan ku yang tak sempat kselesaikan, langsung saja dijawab “bukan, dia bukan orang miskin. Sebenarnya dia anak tunggal dari orang terkaya kedua di Indonesia. Dia tidak sekolah karena dia mengidap penyakit leukimia dan sekarang sudah menginjak stadium akhir. Saya kesini karena saya diperintahkan memberikan surat ini kepada kamu.” sambil menerima surat itu aku bertanya padanya “Lea dimana? Apa terjadi sesuatu dengan Lea?” pria itu menjawab dengan muka tertunduk “Nn…Non.. Lea..sekarang sedang dirumah sakit. Setiap hari Non Lea kesini hanya untuk menunggu kamu, dari pagi sampai malam menyambut, ia setia menunggu kamu disini.” tak ku sangka sambil memandangi surat dari Lea, air mataku menetes, ya benar, minggu belakangan ini aku melupakannya. Aku tak datang ke sini untuk menemuinya. Pelan-pelan aku membuka surat dari Lea, isinya:
Aku udah lama nunggu kamu disini Rey, aku kangen banget sama kamu. Kenapa kamu nggak pernah dateng nemuin aku? Kamu lupa sama aku? Atau kamu punya cewek lain?
Rey…
Aku sayang banget sama kamu. Biasanya aku nggak pernah mau kalo ada orang yang mau kenalan sama aku, tapi aku heran kenapa waktu kamu dateng aku nggak mencegah kamu buat masuk ke kehidupan aku. Dan bodohnya aku, aku dengan riangnya berlari-lari dihati kamu tanpa memikirkan perasaanmu selanjutnya …….
Aku sayang banget sama kamu. Biasanya aku nggak pernah mau kalo ada orang yang mau kenalan sama aku, tapi aku heran kenapa waktu kamu dateng aku nggak mencegah kamu buat masuk ke kehidupan aku. Dan bodohnya aku, aku dengan riangnya berlari-lari dihati kamu tanpa memikirkan perasaanmu selanjutnya …….
Aku tak sanggup membacanya lagi dan mataku tak sanggup lagi membendung air mataku yang akan tumpah jatuh membasahi pipiku. Ketika aku melihat kehadapanku, pria itu sudah tak ada. Aku melihat sekeliling. Tetapi tak kutemukan pria itu. Aku bergegas mengambil mobil dan pergi kerumah sakit untuk mencari Lea. Ketika aku tiba di RS dekat taman, kuhampiri resepsionis dan kutanya,”apakah ada pasien yanng bernama Lea?” dan petugas tersebut menjawab “disini tidak ada yang bernama Lea..” aku mulai panik, satu per satu rumah sakit yang ada kukunjungi. Tetap tak kutemukan juga kekasihku itu. Lalu aku memutuskan untuk pulang.
Sampai di kamar aku terhuyung lemas, kaku dan tak berdaya. Aku berpikir begini beratkah jalan hidup yang harus kutempuh? Apakah dosa yang telah aku perbuat di kehidupan masa laluku dulu? Aku tak memperdulikan orangtuaku yang memanggi-manggil namaku. Mereka baru saja dataang hari ini, entahlah mungkin karena urusan bisnis papa. Aku tak tahan berada di rumah dengan orang-orang yang kubenci, lalu aku memutuskan untuk pergi ke taman. Segera kuambil mobil dari garasi, lalu aku melesat pergi. Aku menyupir tak konsentrasi, perasaanku tak karuan, pikiranku melayang. Kudengar klakson mobil dan motor yang tak salah lagi khusus di bunyikan untukku.
Sampai di taman, ku parkir mobil tanpa terkunci. Ku kelilingi taman berharap dapat kutemukan dirinya. Aku merasa sangat lemas, aku lelah. Aku tak sangggup lagi untuk berjalan, air mataku menetes, tetap tak kudapati dirinya. Tak sadar, akhirnya ku tertidur di taman itu. Pada pagi harinya, aku dibangunkan oleh suara yang tak asing lagi. Ya itu adalah suara mama, ternyata mama dan papa mengikutiku dari kemarin malam. Mereka tidur di mobil, sementara aku tidur di bangku taman. Aku terloncat dan berdiri dari bangku itu. Kulihat disekitar tak kudapati Lea di taman itu. Untuk sejenak aku berpikir, ternyata mereka masih memiliki perhatian padaku, kemarin mereka datang dari London ketika aku belum tiba dirumah, “Kamu kenapa bingung gitu Rey? Ini mama..” aku tak memperdulikan ucapan mama, aku tetap melihat ke sekitar. Papa turun dari mobil dan menghampiriku “Rey…kamu kenapa? itu mama kamu Rey, kenapa kamu tidur di taman ini? ayoo pulang boy.. kamu pasti lelah.” Aku tetap tak memperdulikannya. Aku hanya diam, sambil melihat ke sekitar siapa tau dapat kutemukan dirinya. Tapi hasilnya tetap sama. Lea tak kunjung datang. Aku sangat sedih. Sementara papa dan mama terus memaksaku untuk pulang. Aku tak dapat menahan emosiku lagi, “Pa..ma.. kalo mau pulang, pulang aja! Biasanya juga aku mau kemana, kalian nggak pernah perduli kan? apa kalian masih anggep aku anak, setelah kalian campakkan aku? Aku ini cuma anak anjing yang kalian pungut dari jalan dan kalian berikan fasilitas mewah. Aku bukan siapa-siapa kalian.“ mama menangis duduk diatas bangku taman, sementara papa diam terpaku tak merasa bersalah sedikitpun. Aku merasa bersalah atas apa yang telah kukatakan, sehingga membuat mama menangis. Dengan wajah tertunduk aku menghampiri mama dan berkata, “ma.. maafin aku, aku gak maksud buat mama sedih, aku tau aku tak pantas berbicara seperti itu, aku emosi ma.. Maafin aku ma....” mama menangis makin keras, sementara papa hanya diam memperhatikan kami dengan wajah aneh.
Tak sengaja, saat aku melihat ke belakang mama, ternyata ada seorang wanita yang sedang memperhatikan kami. Tak salah lagi wanita itu adalah Lea. Ternyata ia telah ada disana sejak tadi, segera kuhampiri dia. Kulihat wajahnya pucat dan matanya berair, kupeluk dia. Dan baru kusadari ternyata ia tak sendiri, sangat banyak orang yang diajaknya, ku tak tau kenapa. Sambil menyapu air mataku ia berkata, “kamu nggak boleh berkata begitu. Dia orangg…” kuputus pembicaraannya. Lalu ku tanyai dia “kamu kemana aja. Kenapa kamu nggak pernah dateng kesini?” dengan senyum lebar dan suara lembut ia menjawab, “eemmm… iya, aku sibuk. Kamu juga nggak pernah dateng.“ dengan senyum paksa yang kubuat aku menjawab, “iya..maafkan aku, waktu itu Mbak Isa meninggal dan gak lama Pak San juga ikut meninggalkanku.” aku tertunduk, diangkatnya wajahku olehnya. Kutatap kedua bola matanya dengan dalam yang amat menyejukkanku. Lalu ia berkata, “Kamu orang yang baik Rey, aku cinta sama kamu, aku sayang sama kamu. Tapi kita udah nggak bisa sama-sama lagi. Kita putus Rey. Aku kesini ingin pamit padamu, karena aku akan pergi ke tempat yang amat jauh.” kulihat senyum kesedihan diwajahnya, dengan segera aku berkata, “Kenapa kau memutuskanku? Kalo kamu benar-benar mencintaiku kau tak akan mengakhiri hubungan kita. Kamu mau kemana ? kita baru aja bertemu..” ia tak menjawabnya, hanya menangis dan berbalik badan mencoba meninggalkanku. Tapi belum sempat ia melangkah, sudah ku tarik tangannya dan kupeluk dia. Aku merasa ada yang aneh padanya. Mengapa ia berat sekali, pikirku. Dan pada saat kulepas pelukanku, tiba-tiba saja ia terjatuh. Orang-orang yang datang bersamanya mulai menangis. Ku tak tau apa yang terjadi, ketika seorang pria yang telah berumur menghapiriku dan berkata, “Rey, saya papanya Lea. Lea sudah.. sudah.. sudah meninggalkan kita. Dia kesini hanya ingin melihatmu untuk yang terakhir kalinya sebelum dia pergi.” aku sangat terkejut, ternyata ini yang dimaksud olehnya. Orangtuaku datang menghampiriku, mengelus-elus pundakku. Aku tak memperdulikan mereka. Pikiranku kalut langsung saja aku mengambil pecahan kaca yang ada disekitar tempatku berdiri, mama memelukku berusaha mengambil pecahan kaca itu dari tanganku. Dengan segera aku melepaskan pelukan mama “Maaf ma.. maaf pa...aku harus melakukan ini. Orang-orang yang kusayangi telah pergi meninggalkanku..” tanpa rasa bersalah papa menjawab, “tapi kamu masih punya papa Rey, kamu masih punya kita. Kamu nggak sendiri. Kita masih bisa memberikan apa yang kamu minta Rey..” aku sangat marah, ternyata papa belum juga sadar, ”Pa..yang aku butuhkan bukan cuma uang kalian. Aku juga butuh kasih sayang. Itu hal terpenting dalam hidup ini yang nggak bisa kalian kasih ke aku. Aku memang menyayangi kalian, tapi aku lebih menyayangi Pak San dan Mbak Isa yang sudah merawatku selama ini, mereka yang telah memberiku kasih sayang yang tulus..” papa berusaha memotong omonganku dan untuk pertama kalinya ia memelukku. Aku tak memperdulikannya aku tetap bicara, “Kalian sibuk dengan urusan kalian masing-masing. Selama ini aku hidup dalam kesendirian hanya mereka yang menemani aku. Kemana saja kalian selama ini? Tak ingatkah kalian memiliki seorang anak? Selama ini aku tertekan ma..pa..aku hidup sendiri di dunia ini, tanpa orangtua, tanpa teman, cuma ada Mbak Isa dan Pak San. Dan ketika aku menelepon kalian memberi kabar bahwa Mbok Isa dan Pak San meninggal, kalian tak memperdulikannya. Kalian tak pernah tau betapa berharganya Mbok Isa dan Pak Man bagiku walaupun mereka cuma pembantu dan sopir!!” air mataku menetes deras, aku mengusap air mataku lalu melanjutkan kata-kataku, “..dan setelah aku bertemu dengan Lea, hari-hariku terasa lebih berwarna. Aku sangat mencintainya ma...pa.. Aku harus pergi menyusul mereka.” Aku harus pergi menyusul orang-orang yang kusayang pikirku. Dengan segera aku melukai pergelangan tanganku agar bisa memutuskan urat nadiku. Awalnya semua masih terlihat jelas, namun, semua berubah menjadi semakin gelap, semakin gelap, dan semakin gelap. Sesaat sebelum aku tak sadarkan diri aku melihat mama menangis memangku kepalaku dan papa memegangi tanganku sembari mereka meminta maaf. Aku sempat tersenyum pada mereka kemudian semua menjadi hitam dan hening.